0 komentar

TEORI BELAJAR KONDISIONING (CONDITIONING)






BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Banyak teori tentang belajar yang telah berkembang mulai abad ke 19 sampai sekarang ini. Pada awal abad ke-19 teori belajar yang berkembang pesat dan memberi banyak sumbangan terhadap para ahli psikologi adalah teori belajar tingkah laku (behaviorisme) yang awal mulanya dikembangkan oleh psikolog Rusia Ivan Pavlov (tahun 1900-an) dengan teorinya yang dikenal dengan istilah pengkondisian klasik (classical conditioning) dan kemudian teori belajar tingkah laku ini dikembangkan oleh beberapa ahli psikologi yang lain seperti Edward Thorndike, B.F Skinner dan Gestalt.
Secara umum terdapat dua teori kondisioning yaitu kondisioning klasik (kondisioning responden) dan kondisioning operant. Kondisioning klasik dikembangkan oleh Ivan Petrovich Pavlov dengan percobaannya yaitu anjing yang mengeluarkan air liurnya berdasarkan faktor makanan, cahaya dan bunyi. Sedangkan kondisioning operant yang dikembangkan oleh B. F. Skinner dengan teorinya tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant; operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya yaitu berupa pengendalian konsekuensi. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara lebih rinci mengenai clasical conditioning dan operant conditioning.

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana konsep teori dan percobaan pada clasical conditioning ?
2.      Bagaimana implikasi clasical conditioning dalam pembelajaran masa kini?
3.      Bagaimana konsep teori dan percobaan pada operant conditioning ?
4.      Bagaimana implikasi operant conditioning dalam pembelajaran masa kini?

C. Tujuan Penulisan

1.      Mengetahui konsep teori dan percobaan pada clasical conditioning.
2.      Memahami implikasi clasical conditioning dalam pembelajaran masa kini.
3.      Mengetahui konsep teori dan percobaan pada operant conditioning.
4.      Memahami implikasi operant conditioning dalam pembelajaran masa kini.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Kondisioning Klasik atau Kondisioning Responden

1. Sejarah Kondisioning Responden atau Kondisioning Klasik (Davidoff, 1988)
Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), seorang ahli fisiologi terkemuka dari Rusia, dipandang sebagai penemu proses kondisioning responden. Sebagai akibatnya, maka prosedur ini sering disebut sebagai kondisioning Pavlov. Sudah dapat dipastikan dialah sebagai peraih hadiah nobel ketika dia mulai dengan penelitiannya dalam hal kondisioning. Dalam serangkaian penelitiannya mengenai pengeluaran cairan-cairan pencernaan pada anjing, dia mencatat bahwa hewan-hewan dapat mengeluarkan air liur yang tidak hanya disebabkan oleh makanan saja. Misalnya hewan itu dapat berliur ketika melihat si pemberi makan. Keluarnya air liur ini, yang semula merupakan hal yang mengganggu, justru kemudian memancing keinginan Pavlov untuk lebih banyak meneliti hal ini. Kemudian dia bersama teman-temannya merancang suatu situasi tertentu sedemikian rupa sehingga dapat memancing keluarnya air liur hewan. Mereka berusaha pula dengan cermat dan hati-hati agar tidak melibatkan faktor-faktor dari luar yang disebut factor ekstraneous.  Pavlov terus menerus mengadakan penelitian mengenai kondisioning responden ini sampai akhir hayatnya dan meninggal dunia dalam usia 87 tahun.

2. Penelitian Classical Conditioning (Purwanto, 2002)
Dapat dikatakan bahwa pelopor dari teori conditioning ini adalah Pavlov seorang ahli fisiologi dari Rusia. Ia mengadakan percobaan-percobaan dengan anjing. Secara ringkas percobaan-percobaan Pavlov dapat kita uraikan sebagai berikut:
Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga kelenjar ludahnya berada di luar pipinya, dimasukkan ke kamar yang gelap. Di kamar itu hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya, tempat menyodorkan makanan atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan percobaan-percobaan. Perhatikan gambar di bawah ini:












Gambar 1.1 Percobaan Pavlov


Pada moncongnya yang telah dibedah itu dipasang sebuah pipa (selang) yang dihubungkan dengan sebuah tabung di luar kamar. Dengan demikian dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu diadakan percobaan-percobaan. Alat-alat yang dipergunakan dalam percobaan-percobaan itu ialah makanan, lampu senter untuk menyorotkan bermacam-macam warna, dan sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan-percobaan yang telah dilakukan dengan anjing Pavlov mendapatkan kesimpulan bahwa gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (unconditioned reflex) keluar air liur ketika melihat makanan yang disodorkan dan refleks bersyarat/refleks yang dipelajari (conditioned reflex) keluar air liur karena menerima/bereaksi terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu.
Sesudah Pavlov, banyak ahli-ahli psikologi lain yang mengadakan percobaan-percobaan dengan binatang, antara lain Guthrie, Skinner, Waston dan lain-lain. Waston mengadakan eksperimen-eksperimen tentang perasaan takut pada anak dengan menggunakan tikus dan kelinci. Dari hasil percobaannya dapat ditarik kesimpulan bahwa perasaan takut pada anak dapat diubah atau dilatih. Anak percobaan Waston yang mula-mula tidak takut pada kelinci dibuat menjadi takut pada kelinci. Kemudian anak tersebut dilatihnya pula sehingga tidak menjadi takut lagi pada kelinci.
Demikianlah maka menurut teori conditioning belajar itu adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat (conditions) yang kemudian menimbulkan reaksi (response). Utuk menjadikan seseorang itu belajar haruslah kita memberikan syarat-syarat tertentu. Yang terpenting dalam dalam belajar menurut teori conditioning ialah adanya latihan-latihan yang continue. Yang diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yang terjadi secara otomatis.
Penganut teori ini mengatakan bahwa segala tingkah laku manusia juga tidak lain adalah hasil daripada conditioning. Yakni hasil daripada latihan-latihan atau kebiasaan-kebiasaan mereaksi terhadap syarat-syarat tertentu yang dialaminya di dalam kehidupannya.
Kelemahan dari teori conditioning ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolakan. Sedangkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan dan reaksi apa yang dilakukannya. Teori conditioning ini memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia teori ini hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar yang mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak kecil.

3. Prinsip dan aplikasi kondisioning responden
Para psikologi Amerika dan Rusia telah banyak meneliti mengenai kondisioning responden  ini di dalam laboratorium mereka untuk selama lebih dari 50 tahun. Secara tradisional, mereka memilih rangsangan  tak bersyarat yang sederhana saja seperti misalnya tiupan angin, makanan  pemberian aliran listrik yang ringan ke kaki. Kejadian-kejadian tersebut dapat menimbulkan respons tak bersyarat yang juga sederhana seperti misalnya berkedip, keluar air liur dan menekuk lutut. Secara khusus para ilmuwan perilaku juga menggunakan rangsangan netral yang sederhana, seperti misalnya nada, cahaya dan kartu dengan gambar geometris atau kata-kata. Dengan memilih secara cermat rangsangan yang sudah diperjelas dan juga responsnya membuat semakin yakin bahwa prosedurnya dapat dapat dibuat seragam dan bahwa sarana pengukuran yang tepat dapat diusahakan. Para peneliti kemudian juga meneliti mengenai beberapa aspek lainnya dari kondisioning responden ini dalam hal magnitude yaitu besarnya ataupun jumlahnya juga intensitasnya (seberapa jauh jarak yang diperlukan antara rangsang yang diberikan dengan munculnya respons tertentu) dan reliabilitasnya (seberapa prosentase pengujian penelitian yang dapat memancing respons).

4. Implikasi teori Clasical Conditioning terhadap pembelajaran masa kini

Aplikasi teori ini dalam pembelajaran, bahwa dalam kegiatan pembelajaran pendidik memberikan arahan kepada peserta didik untuk berfikir cepat dan tepat. Selain itu, pendidik juga dapat menggunakan metode pembelajaran yang bisa mengubah kebiasaan peserta didik menjadi lebih baik. Pendidik seharusnya juga dapat memperhitungkan antara rangsang yang diberikan terhadap respons peserta didik. Apabila tidak mampu dilakukan dalam satu kali pemberian rangsangan maka harus dilakukan beberapa kali sampai tujuan untuk mengubah kebiasaan peserta didik dapat tercapai. Seperti misalnya, mengubah kebiasaan peserta didik yang malas menjadi rajin. Kemudian dilakukan evaluasi untuk menentukan besarnya keberhasilan dan dampak yang ditimbulkan dari metode yang diterapkan tersebut.

B. Teori Conditioning dari Guthrie

Guthrie mengemukakan bagaimana cara/metode untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik, berdasarkan teori conditioning. Guthrie mengemukakan bahwa tingkah laku manusia itu secara keseluruhan dapat dipandang sebagai deretan-deretan tingkah laku yang terdiri dari unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan reaksi/respons dari perangsang/stimulus sebelumnya, dan kemudian unit tersebut menjadi pula stimulus yang kemudian menimbulakan response bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Demikianlah seterusnya sehingga merupakan deretan-deretan unit tingkah laku yang terus-menerus. Jadi pada proses conditioning ini pada umumnya terjadi proses asosiasi antara unit-unit tingkah laku satu sama lain yang berurutan. Ulangan-ulangan/latihan yang berkali-kali memperkuat asosiasi yang terdapat antara unit tingkah laku yang satu dengan unit tingkah laku yang berikutnya.
Sebagai penjelasan dari percobaan Pavlov sebagai berikut: pada mulanya anjing percobaan keluar air liur ketika disodorkan makanan. Setelah berkali-kali sambil menyodorkan makanan dilakukan juga menyorotkan sinar merah pada anjing itu; pada suatu ketika hanya dengan menyorotkan sinar merah, anjing itu keluar juga air liurnya. Jadi, dalam hal ini terjadi asosiasi yang makin kuat antar sinar merah (stimulus) dengan keluarnya air liur (respons). Yang penting pula diperhatikan dalam percobaan itu ialah dapat diubahnya suatu stimulus (unit) tertentu dengan stimulus yang lain. Karena itu menurut Guthrie untuk mengubah kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik, harus dilihat dalam deretan unit-unit tingkah lakunya, kemudian kita usahakan untuk menghilangkan unit yang tidak baik itu atau menggantinya dengan yang lain/yang seharusnya.
Berikut ini sebuah contoh dari sebagai penjelasan. Seorang ibu datang menanyakan pada Guthrie, bahwa anak perempuannya setiap pulang dari sekolah selalu melemparkan tas dan pakaiannya ke sudut kamarnya, kemudian ganti pakaian dan terus makan tanpa meletakkan tas dan pakaiannya pada gantungan yang telah tersedia. Teguran-teguran ibu untuk menggantungkan tas dan pakaian pada tempatnya, hanya berlaku satu atau dua hari saja, sesudah itu kebiasaan yang buruk terulang lagi. Bagaimana cara memperbaiki kebiasaan buruk pada anak tersebut?
Guthrie menyarankan perbaikan seperti berikut: teguran ibu jangan hanya menyuruh menggantungkan tas dan pakaiannya sesudah anak itu makan, akan tetapi anak tersebut harus disuruh memakai pakaian itu lagi dan menyandang tasnya dan kemudian anak itu masuk ke rumah lagi terus menggantungkan tasnya dan pakaiannya, berganti pakaian, dan selanjutnya makan. Jadi, proses berlangsungnya unit-unit tingkah laku itu harus diulang dari semula.

Beberapa metode dipergunakan Guthrie dalam mengubah tingkah laku atau kebiasaan pada hewan maupun pada manusia ialah:
1.      Metode Reaksi Berlawanan(Incompatible Response Method). Manusia itu adalah suatu organisme yang selalu mereaksi kepada perangsang-perangsang tertentu. Jika suatu reaksi terhadap perangsang-perangsang telah menjadi suatu kebiasaan, maka cara untuk mengubahnya ialah dengan jalan menghubungkan perangsang (stimulus) dengan reaksi (respon)yang berlawanan dengan reaksi buruk yang hendak dihilangkannya, sebagai contoh: Umpamanya, seorang anak takut pada kelinci, berilah anak itu makanan yang disukainya supaya anak itu merasa senang. Lakukanlah usaha ini berkali-kali, akhirnya anak tersebut tidak takut lagi kepada kelinci. Contoh lain: Umpamakan kita akan mengubah tingkah laku seorang pemabuk. Pada waktu orang itu diberi minuman keras, ia diberi injeksi yang menyebabkan ia muntah. Inipun dilakukan berkali-kali sehingga orang itu berubah menjadi ingin muntah kalau melihat minuman keras.
2.      Metode Membosankan (Exhaustion Method). Hubungan antara asosiasi antara perangsang dan reaksi (S-R) pada tingkah laku yang buruk itu dibiarkan saja sampai lama mengalami keburukan itu, sehingga menjadi bosan. Sebagai contoh, umpamakan seorang anak yang berumur 3 tahun bermain-main dengsn korek api. Pada waktu itu disuruh menghabiskan kepala korek api satu pak sehingga menjadi bosan. Juga untuk menjinakkan kuda liar menjadi kuda tunggangan umpamanya, kita dapat menggunakan cowboy-cowboy berganti-ganti melatih menunggangi kuda itu dalam waktu berturut-turut. Akhirnya kuda itu menjadi jinak.
3.      Metode Mengubah Lingkungan (Change of Environment Method). Suatu metode yang dilakukan dengan jalan memutuskan atau memisahkan hubungan antara S dan R yang buruk akan dihilangkannya. Yakni menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang disebabkan oleh suatu perangsang (S) dengan mengubah perangsangnya itu sendiri. Sebagai contoh umpamanya kita akan mengubah tingkah laku atau kebiasaan buruk yang dilakukan oleh seorang anak di sekolahnya, dengan memindahkan anak itu ke sekolah yang lain. Seorang dokter menyuruh pasiennya untuk beristirahat di tempat lain agar penyakit pasien itu cepat sembuh.

C. Teori Operant Conditioning

1. Sejarah teori operant conditioning (Davidoff, 1988)
            B. F. Skinner (lahir 1904), seorang psikolog Amerika merupakan salah satu orang yang menyumbang pikirannya kepada kodisioning operan ini. Dia selalu menekankan bahwa perilaku yang terlihat itu adalah satu-satunya hal yang harus menjadi pusat minat dan perhatian ahli psikologi. Pada akhir tahun 1920-an dia mulai meneliti mengenai kondisioning operan ini. Seringkali dia melatih sekelompo kecil burug dara atau tikus yang lapar agar mencucuk sebuah tombol. Setiap kali hewan itu berhasil dengan tindakan tertentu, maka makanan akan dikirimkan ke dalam mangkuknya. Skinner kemudian menyimpulkan bahwa mengamati respons dari hewan yang secara relatif masih primitif di dalam lingkungan yang bebas gangguan, adalah satu-satunya cara yang paling efektif untuk menentukan hukum-hukum dasar kondisioning operan.
            Buku novel khayalan karangan Skinner yang berjudul Walden Two mengenai sebuah masyarakat yang berdasarkan kondisoning operan ini telah menimbulkan inspirasi terhadap masyarakat. Yang lebih penting lagi ialah bahwa penelitian terhadap kondisioning operan ini telah mengarah pada teknologi mengajar yang canggih, yang dinamakan modifikasi perilaku (behavior modification). Dan teknik ini telah dipakai di seluruh dunia oleh para psikolog, guru, orang tua dan pihak lain dalam lingkungan yang berbeda-beda.

2. Penelitian Operant Conditioning
Menurut Skinner tingkah laku bukanlah sekedar respons terhadap stimulus, tetapi suatu tindakan yang disengaja atau operant; operant ini dipengaruhi oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi operant conditioning, atau operant learning, itu melibatkan pengendalian konsekuensi (consequences). Tingkah laku ialah perbuatan yang dilakukan seseorang pada situasi tertentu. Tingkah laku ini terletak diantara dua pengaruh yaitu pengaruh yang mendahuluinya (antecedent) dan pengaruh yang mengikutinya (konsekuensi). Hal ini dapat dilukiskan sebagai berikut:

antecendent                   tingkah laku                   konsekuensi

atau        A                                          B                                   C

Dengan demikian tingkah laku itu dapat diubah dengan cara mengubah antecendent, konsekuensi, atau kedua-duanya. Menurut Skinner, konsekuensi itu sangat menentukan apakah seseorang akan mengulangi suatu tingkah laku pada saat lain di waktu yang akan datang.

Mengendalikan konsekuensi
Konsekuensi yang timbul dari tingkah laku tertentu dapat menyenangkan atau pun tidak menyenangkan bagi yang bersangkutan. Ada dua hal yang perlu disinggung sehubungan dengan pengendalian konsekuensi ini, yaitu reinforcement dan hukuman.

a. Reinforcement
Dalam kehidupan sehari-hari, reinforcement kurang lebih berarti “hadiah”. Tetapi dalam dunia psikologi, reinforcement mempunyai arti lebih khusus yaitu satu tipe konsekuensi. Efek dari konsekuensi itu menentukan apakah konsekuensi itu memberi reinforcement atau tidak. Setiap konsekuensi itu adalah pemberi reinforcement (reinforcer) kalau dia memperkuat tingkah laku berikutnya. Tingkah laku yang diikuti dengan reinforcement akan diulang-ulang di waktu yang akan datang. Singkatnya, reinforcement adalah konsekuensi yang memperkuat tingkah laku.
Reinforcement itu ditentukan oleh efeknya memperkuat tingkah laku. Murid yang selalu dipanggil menghadap Kepala Sekolah karena berulang kali melakukan pelanggaran disiplin misalnya, dapat menjadi pertanda bahwa hal itu memberikan reinforcement kepadanya. Apakah konsekuensi dari sesuatu perbuatan itu memberikan reinforcement atau tidak bergantung pada persepsi seseorang terhadap peristiwanya dan arti peristiwa itu baginya. Cara lain untuk menentukan reinforcer ialah bahwa reinforcer itu dapat berupa peristiwa atau sesuatu yang akan diraih oleh seseorang.
Reinforcement ada dua macam, positif dan negatif. Disebut reinforcement positif apabila suatu stimulus tertentu (biasanya yang menyenangkan) ditunjukan atau diberikan sesudah suatu perbuatan dilakukan. Misalnya uang atau pujian diberikan kepada seorang anak yang memperoleh nilai A pada mata pelajaran tertentu. Reinforcement negatif apabila suatu stimulus tertentu (yang tidak menyenangkan) di tolak atau dihindari. Dengan perkataan lain, reinforcement negatif itu memperkuat tingkah laku dengan cara menghindari stimulus yang tidak menyenangkan. Kalau suatu perbuatan tertentu menyebabkan seseorang menghindari sesuatu yang tidak menyenangkan, yang bersangkutan cenderung mengulangi perbuatan yang sama apabila pada suatu saat menghadapi situasi yang serupa. Kalau kita tilik kembali contoh tentang murid yang berulang kali dipanggil Kepala Sekolah karena pelanggaran disiplin yang dilakukannya itu menjadi bertambah kuat karena dia tetap saja melakukannya.

b. Hukuman
Reinforcement negatif itu seringkali dikacaukan dengan hukuman. Proses reinforcement (positif atau pun negatif) selalu memperkuat tingkah laku. Sebaliknya hukuman mengandung pengurangan atau penekanan tingkah laku. Suatu perbuatan yang diikuti hukuman, kecil kemmungkinannya diulangi lagi pada situasi-situasi yang serupa pada saat yang lain.
Seperti halnya reinforcement, hukuman juga dibedakan menjadi dua macam, presentation punishment dan removal punisment. Presentation punishment terjadi apabila stimulus yang tidak menyenangkan ditunjukan atau diberikan, misalnya guru memberikan tugas-tugas tambahan karena kesalahan yang dibuat muridnya. Removal punisment terjadi apabila stimulus tidak ditunjukkan atau diberikan, artinya menghilangkan sesuatu yang menyenangkan atau diinginkan. Contoh, anak tidak diperkenalkan menonton televisi selama seminggu karena tidak mamu belajar. Dengan kedua cara hukuman tersebut, akibatnya ialah berkurangnya tingkah laku yang menyebabkan dikenakannya hukuman. Dengan kedua cara hukuman tersebut, akibatnya ialah berkurangnya tingkah laku yang menyebabkan dikenakannya hukuman.
Ringkasnya, empat macam proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (Mahmud, 1989):
Stimulus
Effect
Ditunjukkan
Tingkah laku ditingkatkan
Tingkah laku ditekan
Reinforcement positif. Contoh: nilai bagus
Presentation Punishment.
Contoh: diberi tugas tambahan
Dihilangkan
Reinforcement negatif
Contoh: tetap melanggar disiplin
Removal Punishment
Contoh: tidak boleh menonton TV selama satu minggu

Penerapan Reinforcement
Apabila seseorang belajar sesuatu hal yang baru , akan lebih cepat kalau setiap responsnya yang benar diberi reinforcement. Praktek seperti ini disebut reinforcement berkesinambungan. Tetapi sekali respon itu dikuasai, lebih baik diberikan reinforcement berselang-seling, yaitu seringkali memberikan reinforcement tetapi tidak setiap kali. Hal ini ada alasannya:
a.       Karena memberikan reinforcement kepada setiap respons yang benar itu akan memakan banyak waktu dan tidak praktis.
b.      Karena reinforcement berselang-seling itu membantu murid untuk tidak mengharap-harap reinforcement setiap saat.
Ada empat tipe dasar reinforcement berselang-seling. Dua tipe yang pertama didasarkan atas banyaknya waktu yang berjalan antara reinforcer-reinforcer; dua tipe ini disebut interval.  Adapun dua tipe yang kedua  didasarkan atas jumlah respons yang diberikan antara reinforcer-reinforcer; dua tipe yang kedua ini disebut ratio, terdiri dari ratio tetap dan ratio bervariasi.

Pola-pola respons
            Apabila reinforcement didasarkan pada prinsip interval tetap (setiap lima menit misalnya), dapat diduga pola respons yang bakal muncul. Contoh: reinforcement akan selalu diberikan kepada respons yang benar yang pertama yang terjadi setelah waktu tertentu. Karena reinforcement sudah dapat diduga sebelumnya, maka respons-respons akan meningkat pada saat reinforcement akan diberikan dan kemudian berhenti segera setelah reinforcement itu diberikan, misalnya kepada peserta didik diberikan tugas membaca dikelasnya tanpa ditunggui oleh guru; peserta didik tahu bahwa setiap lima belas menit gurunya akan datang menengok mereka dan memberi pujian kepada mereka  yang sedang sibuk membaca. Katakanlah bahwa diantara mereka tidak ada yang memakai arloji. Tetapi setelah kira-kira dua belas menit, semua peserta didik mulai diam dan membaca. Setelah guru selesai menengok dan memuji peserta didik yang sedang membaca, mereka dapat bersantai dan beristirahat sebab mereka tahu bahwa kesempatan untuk reinforcement tidak bakal muncul selama beberapa menit.
            Tetapi dengan menggunakan prinsip interval bervariasi pola respons yang muncul berbeda. Pada contoh diatas, jika guru datang menengok pada saat-saat yang tidak dapat diperkirakan terlebih dahulu oleh peserta didik, misalnya saja kadang-kadang dia kembali lima menit setelah kedatangannya yang terakhir, maka peserta didik tidak banyak berbuat santa setelah setiap kali guru datang untuk menengok kegiatan mereka.
            Prinsip yang sama juga berlaku bagi ratio tetap dan ratio bervariasi. Contohnya: jika peserta didik tahu bahwa gurunya hanya mengijinkan selesainya peserta didik membuat karangan kapan saja (asal selesai), maka peserta didik akan beristirahat setelah menyelesaikan sebagian tugas membuat karangan tersebut dan menganggur beberapa hari sebelum mulai melanjutkan membuat karangan lagi, dan tidak jarang kehabisan waktu sehingga harus menangani tugas itu semalam suntuk. Tetapi seandainya guru itu meminta agar peserta didik membuat karangan tersebut bagian demi bagian dengan memberikan tenggang waktu dan tugas tersebut diberi nilai, maka peserta didik akan membuat karangan tersebut sedikit demi sedikit setiap hari.
            Penggunaan reinforcement secara beragam dapat juga mempengaruhi cepat lambatnya peserta didik melakukan tugas-tugas belajar. Kalau reinforcement itu didasarkan atas banyaknya respons yang diberikan seseorang, peserta didik akan lebih cermat mengendalikan waktu yang digunakan untuk reinforcement. Semakin cepat peserta didik mengumpulkan respons yang benar semakin cepat pula reinforcement diperolehnya. Contoh:
a.       Guru berkata: “segera setelah kamu menjawab lima pertanyaan ini dengan benar, kamu boleh beristirahat”.  Ucapan guru ini dapat membuat peserta didik melaksanakan tugas dengan semangat.
b.      “jawablah lima pertanyaan ini selam dua puluh menit. Pekerjaan itu nanti saya periksa. Siapa yang dapat menjawab lima pertanyaan tersebut dengan benar dapat segera istirahat.” Dibandingkan dengan ucapan guru yang pertama, yang kedua ini kurang memacu aktifitas murid.
Aspek lain dari dikenakannya reinforcement adalah kegigihan berusaha. Kalau reinforcement sama sekali tidak diberikan, orang akan kendur semangat dan akhirnya tidak merespons sama sekali. Dengan perkataan lain tingkah laku itu akan menghilang. Cepat lambatnya proses menghilangnya tingkah laku ini sebagian besar bergantung pada pola reinforcement yang diberikan.
Apabila reinforcement itu diberikan setiap kali (reinforcement berkesinambungan), seseorang akan cepat berhenti merespons manakala reinforcement  itu berhenti; demikian pula kalau yang diberikan pola reinforcement tetap. Agar peserta didik terus tetap aktif, yang paling tepat ialah digunakannya pola reinforcement bervariasi.  

Mengendalikan antecedent
            Antecedent itu dapat berupa pemberitahuan atau ajakan sebelum seseorang diminta melakukan sesuatu. Antecedent dapat menimbulkan konsekuensi yang positif ataupun yang negatif. Contoh: Kepala Sekolah yang berdiri didepan kelas misalnya, memberikan informasi tentang akibat-akibat yang akan terjadi seandainya ada peserta didik yang seenaknya meninggalkan kelas. Hal itu secara tidak sadari dapat digunakan secara sengaja ketika guru mengajar, apalagi kalau diingat bahwa pengaruh semacam itu cepat terjadi tetapi juga mudah dilupakan. Yang sering terjadi ialah guru menindak sesuatu perbuatan setelah perbuatan itu dilakukan murid. Misalnya guru berkata: “Badu, apa saja yang kau lakukan selama ini, mengerjakan tugas itu saja tidak bisa.” Ucapan semacam ini tidak jarang mengakibatkan peserta didik tersinggung. Jadi jelaslah keliru atau tidak bijaksana ucapan seperti itu, dan sebagai akibatnya peserta didik mungkin sekali menanggapinya dengan berbagai alternatif, seperti misalnya: “saya berjanji akan berusaha lebih keras” atau “peduli amat sih, kan ini urusan saya.”
Karena itu mengingatkan terlebih dahulu itu penting. Jika peserta didik berbuat sesuai dengan peningkatan tersebut, guru tinggal memberikan reinforcement saja. Tanpa itu barangkali guru tidak pernah berkesempatan memberikan reinforcement kepada perilaku peserta didik yang benar, sebab peserta didik bisa jadi tidak ingat untuk berbuat yang benar itu.
Seperti Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku sebagai hubungan antara perangsang dan respons. Hanya perbedaannya, Skinner membuat perincian lebih jauh. Skinner membedakan adanya dua macam respons, yaitu:
a.       Respondent Response (Reflexive Response): respon yang ditimbulkan oleh perangsang-perangsang tertentu. Misalnya, keluar air liur setelah melihat makanan tertentu. Pada umumnya, perangsang-perangsang yang demikian itu mendahului respon yang ditimbulkannya.
b.      Operant Response (instrumental  response):yaitu respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu. Perangsang yang demikian disebut reinforcing stimuli atau reinforce, karena perangsang itu memperkuat respon yang telah dilakukan oleh organism. Jadi yang demikian itu mengikuti (dan karenanya memperkuat) sesuatu tingkah laku tertentu yang telah dilakukan. Seorang anak yang belajar (telah melakukan perbuatan) lalu mendapat hadiah, maka ia akan menjadi lebih giat belajar (responnya menjadi lebih intensif/kuat).
Di dalam kenyataan, respon jenis pertama (respondent/reflexive response/behavior) sangat terbatas adanya pada manusia. Sebaliknya operant response/behavior merupakan bagian terbesar dari tingkah laku manusia dan kemungkinan untuk memodifikasinya hampir tak terbatas. Oleh karena itu, Skinner lebih memfokuskan pada respon atau jenis tingkah laku yang kedua ini. Jadi yang menjadi soal adalah: bagaimana menimbulkan, mengembangkan dan memodifikasi tingkah laku (dalam belajar aatu dalam pendidikan).
            Prosedur pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning secara sederhana adalah sebagai berikut:
(a)    Mengidentifikasi hal-hal apa yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi tingkah laku yang akan dibentuk.
(b)   Menganalisis, dan selanjutnya mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud. Komponen-komponen itu lalu disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya tingkah laku yang dimaksud.
(c)    Berdasarkan urutan komponen-komponen itu sebagai tujuan sementara, mengidentifikasi reinforce (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
(d)   Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan komponen-komponen yang telah disusun. Kalau komponen pertama telah dilakukan maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakibatkan komponen tersebut cenderung untuk sering dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk dilakukan komponen kedua yang kemudian diberi hadiah pula (komponen pertama tidak lagi memerlukan hadiah). Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua itu terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga, dan seterusnya sampai seluruh tingkah laku yang diharapkan terbentuk.
Dewasa ini teori Skinner sangat besar pengaruhnya, terutama  di Amerika Serikat dan negara-negara pengaruhnya. Di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam lapangan metodologi dan teknologi pengajaran, pengaruh ini sangat besar. Program-program inovatif dalam bidang pengajaran sebagian besar disusun berdasar atas teori Skinner tersebut.

3. Prinsip Dan Aplikasi Kondisioning Operan
Sekarang kita akan meninjau bagaimana prinsip dari kondisioning operan dalam pengalamannya untuk kehidupan manusia sehari-harinya, khusus dalam membuat anak belajar. Dalam kehidupan sehari-hari orang serungkali tidak menyadari bahwa dia telah melaksanakan aturan kondisioning operan ini. Banyak individu, seperti misalnya dalam keluarga Teller saling mengajarka sesuatu pada anggota keluarga lainnya tanpa mereka menyadarinya.
4. Penguatan
            Penguatan berguna untuk memperkuat perilaku tertentu yang diharapkan. Pada kondisinin responden, penguatan ini diberikan sebelum tindakan yang diperkuat, sedankan pada kondisioning operan, penguatan diberikan sesudah tindakan yang diperkuat itu. Hakikat dari prosedur penguatan juga berbeda pada keduanya. Kalau peda kondisioning responden, penguatan diberikan sebgai konsekuensi yang terjadi setelah suatu perilaku.
a.       Penguatan yang positif
Kalau penyajian satu kejadian yang mengikuti sebuah operan meningkatkan kemungkinan bagi operan itu untuk muncul dalm situasi yang sama, psikolog menyebutkan untuk proses dan konsekuensi ini sebagai penguatan positif. Konsekuensi atau akibat yangditimbulkannya juga disebut penguatan positif. Penggunaan kata sifat “positif” ini adalah karena kejadiannya dibuat muncul. penggunaan kata benda “penguatan” digunakan karena frekuensi dari perilaku yang mendahului konsekuensi mungkin diperkuat oleh atensi/perhatian yang diperhatikan.

b.      Penguatan yang negatif
Kalau penghapusan satu kejadian yang mengikuti sebuah operan meninggikan kemungkinannya bahwa operan akan muncul dalam situasi yang sama, maka untuk proses dan konsekuensi yang muncul dinamakan penguatan negatif. Konsekuensi/akibat yang ditimbulkannya juga dinamakn penguat negatif. Kata sifat “negatif” karena kejadiannya dihapuskan/diambil. Kata benda “penguatan” digunakan karena frekuensi respons yang mendahului akibatnya meningkat. Penguatan negatif ini akan memperkuat perilaku lari pada hewan yang dihapkan pada situasi yang iritasi/mengancam. Psikolog membedakan atas dua jenis penguatan negatif ini, yaitu kondisioning lari (escape) dan kondisioning menghindar (avoidance).
Selama terjadinya kondisioning melarikan diri, frekuensi dari operan ditingkatakan dibawah pengaruh keadaan yang sama, karena hal itu akan menghentiakan kejadian yang berjalan terus.
Selama terjadinya kondisioning menghindar, frekuensi dari operan menjadi naik/tinggi dalam satu keadaan tertentu, karena operan itu menunda atau mencagah munculnya suatu kejadian (yang dianggap tidak menyenagkan).

5. Variasi dari penguat negatif dan positif
            Hal apayang diperkuat selama terjadinya kondisioning operan tergantung pada masing-masing individu serta keadaannya saat itu. Mengenai penguat harap selalu diingat bahwa apa-apa yang diperkuat itu sangat tergantung pada setipa individu (dalam arti tidak dapat dipersamakan bagi semua individu). Karena itu, setiap konsekuensi yang muncul sebagai akibat dari pemberian penuat harus dianggap sebagai penguat potensial, sampai pengaruhnya terhadap seorang individu bisa dibentuk.
            Penguat positif dan negatif seringkal dibedakan menjadi dua pembagian yang umum yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Sebuah penguat dikatakan intrinsik bilaman perilaku yang akan diperkuat itu telah diperkuat oleh dirinya sendiri. Denag perkataan lain, respons itu sndiri sudah merupakan sumber dan perasaan nyaman, dan tindakannya itu secara otomatis diperkuat setiap kali muncul. Beberapa perilaku yang berbeda mugkin secara intrinsik mempunyai sifat memperkuat.
            Sebagian besar dari perilaku yang dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-harinya tidaklah secara intrinsik merupakan hal yang memperkuat (reinforcing), tetapi lebih banyak diperkuat oleh konsekuensi yang datang dari luar dirinya, yang eksternal atau ekstrinsik. Secara intrinsik, kejadian yang memuaskan seperti itu dapat dipergunaka untuk mengajarkankebiasaan lainnya. Kegiatan yang dapat memuaskan rasa ingin tahu, atau menyediakan rangsang indra merupakan satu penguat yang kuat terhadap respons manusia.
            Penguat intrinsik tegantung kepada orang lain seringkali dinamakn sebagai penguat sosial. Mungkin beberapa penguat sosial bukanlah hal yang dipelajari, sedangkan lainnya dipelajari. Tampaknya besar kemungkinannya bahwa manusia dilahirkn sudah membawa nilai untuk tersenyum, memeluk dan mengucapkan dengan nada menghibur, tidak menyulai tanda ketegangan dan teriakan. Pada waktu yang bersamaan, orang juga belajar untuk menghargai ungkapan kata yang memuji-muji misalnya bagus atau hebat. Memang penguat sosial ini cenderung untuk secara luar biasa mempengaruhi modifikasi perilaku manusia.



6. Implikasi teori Operant Conditioning terhadap pembelajaran masa kini
Beberapa aplikasi teori belajar Skinner dalam pembelajaran adalah sebagai berikut:
1.      Bahan yang dipelajari dianalisis sampai pada unit-unit yang terkecil;
2.      Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan dan jika benar diperkuat;
3.      Dalam proses pembelajaran tidak dikenakan hukuman;
4.      Dalam pendidikan mengutamakan mengubah lingkungan untuk mengindari pelanggaran agar tidak menghukum;
5.      Hadiah diberikan kadang-kadang (jika perlu);
6.      Tingkah laku yang diinginkan, dianalisis kecil-kecil, semakin meningkat mencapai tujuan;
7.      Dalam pembelajaran sebaiknya digunakan pembentukan (shaping); dan
8.      Mementingkan kebutuhan yang akan menimbulkan tingkah laku yang baik.





BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai teori belajar conditioning, dapat ditarik kesimpulan bahwa: dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing, menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.      Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2.      Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Sedangkan, dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati, menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1.      Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2.      Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.






DAFTAR RUJUKAN

Davidoff, Linda L. 1988. Psikologi Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga
Mahmud, M. Dimyati. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembangunan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Purwanto, M. Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.